ISI UTAMA UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

 



Isi Utama Undang-Undang 


Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang dikenal dengan singkatan UU ITE merupakan hasil kerja kolektif dari berbagai kementerian seperti kementerian perhubungan, kementerian perindustrian, dan kementerian perdagangan. Undang-Undang ini mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Pemanfaatan Teknologi ITE dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.


    Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE). Berikut rincian pada Undang-Undang tentang Informatika dan Transaksi Elektronik tersebut yaitu:


Menghindari multitafsir ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 Ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:


Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”.

Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.

Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disampaikan kepada DPR RI sebelum disahkan. UU ITE diundangkan pada 21 April 2008 dan menjadi cyber law pertama di Indonesia.

Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:


Ancaman pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:


Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang Undang.

Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hokum yang sah.

Melakukan sinkronisasi ketentuan hokum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:


Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):


Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.

Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:


Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:


Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informas Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum TATA CARA INTERSEPSIPoin nomor 8 tadinya sempat direncakan menjadi Peraturan Pemerintah tersendiri, akan tetapi koalisi masyarakat menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Mahkamah menyetujui serta mengharuskan Pasal ini dibuat Undang Undang tersendiri bukannya Peraturan Pemerintah karena intersepsi atau penyadapan membatasi sebagian hak asasi manusia yang menurut pasal 28J UUD 1945, harus berbentuk Undang Undang.Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa RPP merupakan bentuk potensi intervensi Eksekutif terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK, mengingat Pusat Intersepsi Nasional (PIN) dikelola dan dibentuk pemerintah, karena dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Catatan kritis ICW terhadap RPP tentang Penyadapan per 3 Desember 2009:


Pasal 4 ayat (4) teknis operasional pelaksanaan intersepsi dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional.ersepsi rekaman informasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui Pusat Intersepsi Nasional

Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam Peraturan Menteri

Pasal 11 ayat (2) Dewan Intersepsi Nasional bertanggungjawab pada Presiden (tugas mengawasi pelaksanaan intersepsi di Polisi, Jaksa dan KPK)

Pasal 21 ayat (2) Sebelum PIN dibentuk, Menteri dapat membentuk tim audit independen

Pasal 21 ayat (6) Jika PIN sudah terbentuk, intersepsi yg dilakukan penegak hukum harus melalui PIN

Presiden dan dan jajarannya di kabinet akan menjadi orang-orang yang sulit atau mustahil disadap jika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) disahkan. Presiden berperan membentuk Pusat Intersepsi Nasional dan mengangkat Anggota Dewan Pengawas Intersepsi Nasional. Selain itu ada enam instansi lain yang juga akan sulit disadap karena punya peran dominan bagi terlaksana atau tidaknya penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Enam instansi itu yaitu, Menkominfo, Jaksa Agung, Ketua PN Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung, Anggota PIN, Kapolri, dan Dewan Intersepsi Nasional. Kesulitan ini dapat berupa keputusan berlarut-larut atau infonya bocor.[4]


Pasca pembatalan pasal tersebut oleh MK, per 2015 Kemkominfo memprosesnya untuk membuat RUU TCI (Undang Undang Tata Cara Intersepsi). Meskipun RUU TCI ini tidak masuk dalam daftar longlist Program Legislasi Nasional 2015–2019, namun tidak menutup kemungkinan akan masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Sehingga pilihan pertama usulan dimasukkan dalam prakarsa DPR dengan dititipkan dalam pembahasan RUU KUHAP inisiatif DPR. Alternatif kedua didasarkan pada usulan pemerintah yang dilatari pertimbangan kondisi tertentu serta harus mendapatkan izin prakarasa dari Presiden.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Search Engine dan Website

UJIAN TENGAH SEMESTER E-COMMERCE